Ini Alasan Khilafah dan Pancasila Tak Perlu Dipertentangkan
BincangSyariah.Com –Suara-suara yang ingin mengembalikan khilafah sebagai sistem yang harus dianut oleh negara Indonesia ini makin menunjukkan tajinya, apalagi menjelang Pilpres 2019 ini. dan menariknya, khilafah sering dibenturkan dengan Pancasila dan UUD 45 yang masing-masingnya dalam pandangan sebagian kalangan mewakili sistem Islam dan sistem kufur.
Membenturkan khilafah dengan Pancasila di Indonesia oleh sebagian kelompok tertentu di kalangan umat Islam sebenarnya merupakan fenomena yang menarik dan unik yang perlu didiskusikan lebih jauh.
Dan selama ini memang makna khilafah selalu dimonopoli oleh kelompok umat Islam tertentu seperti HTI dan beberapa ormas yang menginginkan didirikannya negara Islam di Indonesia, sehingga umat Islam yang lain yang berada di luar mereka juga menganggap khilafah ya seperti yang dipahami oleh HTI ini. Fenomena ini jelas merupakan bentuk mitologisasi makna khilafah. Padahal makna demikian sangatlah keliru.
Khilafah seperti yang diprediksikan Nabi dalam beberapa hadis akan muncul di akhir zaman menggantikan sistem kerajaan otoriter. Sistem otoriter ini akan dilalui oleh umat Islam dan mungkin juga umat lainnya selama dua fase: mulkun adhud dan mulkun jabbar. Baik mulkun adhudh maupun mulkun jabbar ini masing-masingnya adalah sistem pemerintahan yang relasi antara pemimpin dan rakyatnya didasarkan kepada sistem pemaksaan kehendak dan sistem atasan-bawahan. Artinya kepemimpinan dalam mulkun adhud dan mulkun jabbar bukanlah cerminan kehendak rakyat tapi lebih karena kehendak raja.
Terlepas dari kontorversi soal validitas hadis Nabi yang memprediksikan khilafah akan muncul di akhir zaman, Ibnu Khaldun dan mungkin beberapa pemikir Islam Sunni lainnya menjadikan hadis ini sebagai basis legitimasi bagi peralihan sistem pemerintahan dari khilafah rasyidah yang dirintis Abu Bakar dan Umar bin al-Khattab menuju kerajaan otoriter yang dirintis oleh Muawiyah bin Abi Sufyan dan dilanjutkan oleh raja-raja setelahnya.
Jadi dalam hadis ini yang menjadi inti peralihan sistem dalam pemerintahan Islam ialah soal pergantian dan peralihan yang awal mulanya demokratis dan tidak otoriter menjadi sangat otoriter dan di tahap akhir kembali lagi menjadi demokratis. Berdasarkan kepada hadis tersebut, kita dapat melihat ada empat model pemerintahan yang akan dilalui oleh umat Islam: pertama, khilafah rasyidah; kedua, kerajaan menggigit; ketiga kerajaan despotic dan; keempat, khilafah ala minhaj nubuwwah.
Model kedua dan ketiga merupakan cerminan dari sistem pemerintahan yang otoriter sedangkan model pertama dan keempat merupakan cerminan dari sistem pemerintahan yang tidak otoriter atau sebut saja pemerintahan yang demokratis. Tapi istilah demokratis biasanya selalu dihindari oleh sebagian muslim karena berasal dari kebudayaan Yunani yang pagan. Karena itu, bagi mereka, istilah demokratis itu sejenis istilah kufur.
Padahal sistem demokrasi ini kalau dilihat secara semangatnya tidak jauh berbeda dengan konsep khilafah ala minhaj nubuwwah; kepemimpinan umat yang didasarkan kepada sistem kenabian.
Apa itu minhaj nubuwwah atau sistem kenabian? Pemerintahan yang didasarkan kepada sistem kenabian ialah sistem pemerintahan yang nabi gunakan dalam memimpin umat di masa itu.
Kalau kita membaca secara lebih jeli literatur-literatur sirah kenabian seperti yang ditulis oleh Ibnu Ishak, Ibnu Hisyam, at-Tabari, Ibnu Saad dan lain-lain tentang bagaimana relasi Nabi dengan umat Islam saat itu, niscaya akan kita temukan istilah Muhammad wa sahabatuhu (Muhammad dan para sahabatnya) sangat sering digunakan baik oleh Nabi sendiri maupun oleh musuh-musuhnya Nabi dari kalangan Musyrik Quraish.
Apa pentingnya istilah Muhammad wa Sahabatuhu ini? Istilah politik Nabi ini tentu sangat penting karena ia memiliki relasi yang kuat dengan istilah al-khilafah ala minhaj nubuwwah. Jadi satu-satunya tafsir yang tepat terhadap makna khilafah ala minhaj nubuwwah ialah dengan mengaitkannya dengan konsep Muhammad wa Sahabatuhu.
Artinya khilafah ala minhaj nubuwwah sangat ditentukan maknanya oleh istilah Muhammad wa Sahabutuhu. Artinya sistem pemerintahan yang didasarkan kepada metode kenabian ialah sistem pemerintahan yang relasi pemimpin dan yang dipimpinnya tidak didasarkan kepada relasi atasan bawahan, tapi didasarkan kepada sistem egalitarianisme: Muhammad wa Sahabatuhu (Muhammad dan Kawan-Kawan)
Dalam istilah politik Nabi, tidak kita temukan Muhammad dan budaknya, atau Muhammad dan rakyatnya dan seterusnya. Kenapa demikian? Karena istilah tersebut mencerminkan semangat atasan-bawahan atau secara lebih kasar lagi mencerminkan otoritarianisme.
Lain halnya dengan istilah Muhammad wa Sahabatuhu, istilah ini mencerminkan egalitarianisme yang tidak memungkinkan hadirnya sistem otoriter dalam sistem pemerintahan kenabian. Dengan kata-kata lain, mengikuti sunnah Nabi dalam berpolitik ialah dengan cara menghilangkan sistem otoritarianisme dalam cara-cara memimpin.
Inilah makna khilafah ala minhaj nubuwwah dan inilah sunnah Nabi. Jadi negara kita jika benar-benar menerapkan sistem pemerintahan yang menentang otoritarianisme dan mengadopsi egalitarianism dalam relasi pemimpin dan yang dipimpinnya, tentu dapat juga disebut sebagai negara khilafah ala minhaj nubuwwah.
Teori-teori kekhilafahan yang ditulis oleh al-Mawardi, at-Turtusyi, al-Jahidz dan lain-lain sangat mencerminkan sistem otoritarianisme Persia yang tidak ada presedennya dalam tradisi kekabilahan Arab dan Islam. Parahnya lagi, banyak para pemikir khilafah seperti Taqiyyuddin an-Nabhani dan lain-lain mengadopsi pemikiran-pemikiran mereka secara mentah-mentah. Jadilah teori khilafah yang diproduknya sangat mencerminkan otoritarianisme. Misalnya ketidakbolehan khalifah yang lebih dari satu atau masa jabatan khalifah yang seumur hidup merupakan satu dari sekian teori-teori khilafahnya yang menjurus ke arah otoritarianisme.
Singkatnya, Indonesia yang berasaskan Pancasila dan UUD 45 sebenarnya tidak lain adalah satu jenis pemerintahan yang dipredikasi Nabi sebagai yang memiliki semangat khilafah ala minhaj nubuwwah dan tentu kita harus kawal terus-menerus agar terhindar dari menyusupnya sistem otoritarianisme yang diwariskan oleh sistem khilafah ala HTI dan sistem pemerintahan ala Komunisme. Semoga.
Membenturkan khilafah dengan Pancasila di Indonesia oleh sebagian kelompok tertentu di kalangan umat Islam sebenarnya merupakan fenomena yang menarik dan unik yang perlu didiskusikan lebih jauh.
Dan selama ini memang makna khilafah selalu dimonopoli oleh kelompok umat Islam tertentu seperti HTI dan beberapa ormas yang menginginkan didirikannya negara Islam di Indonesia, sehingga umat Islam yang lain yang berada di luar mereka juga menganggap khilafah ya seperti yang dipahami oleh HTI ini. Fenomena ini jelas merupakan bentuk mitologisasi makna khilafah. Padahal makna demikian sangatlah keliru.
Khilafah seperti yang diprediksikan Nabi dalam beberapa hadis akan muncul di akhir zaman menggantikan sistem kerajaan otoriter. Sistem otoriter ini akan dilalui oleh umat Islam dan mungkin juga umat lainnya selama dua fase: mulkun adhud dan mulkun jabbar. Baik mulkun adhudh maupun mulkun jabbar ini masing-masingnya adalah sistem pemerintahan yang relasi antara pemimpin dan rakyatnya didasarkan kepada sistem pemaksaan kehendak dan sistem atasan-bawahan. Artinya kepemimpinan dalam mulkun adhud dan mulkun jabbar bukanlah cerminan kehendak rakyat tapi lebih karena kehendak raja.
Terlepas dari kontorversi soal validitas hadis Nabi yang memprediksikan khilafah akan muncul di akhir zaman, Ibnu Khaldun dan mungkin beberapa pemikir Islam Sunni lainnya menjadikan hadis ini sebagai basis legitimasi bagi peralihan sistem pemerintahan dari khilafah rasyidah yang dirintis Abu Bakar dan Umar bin al-Khattab menuju kerajaan otoriter yang dirintis oleh Muawiyah bin Abi Sufyan dan dilanjutkan oleh raja-raja setelahnya.
Jadi dalam hadis ini yang menjadi inti peralihan sistem dalam pemerintahan Islam ialah soal pergantian dan peralihan yang awal mulanya demokratis dan tidak otoriter menjadi sangat otoriter dan di tahap akhir kembali lagi menjadi demokratis. Berdasarkan kepada hadis tersebut, kita dapat melihat ada empat model pemerintahan yang akan dilalui oleh umat Islam: pertama, khilafah rasyidah; kedua, kerajaan menggigit; ketiga kerajaan despotic dan; keempat, khilafah ala minhaj nubuwwah.
Model kedua dan ketiga merupakan cerminan dari sistem pemerintahan yang otoriter sedangkan model pertama dan keempat merupakan cerminan dari sistem pemerintahan yang tidak otoriter atau sebut saja pemerintahan yang demokratis. Tapi istilah demokratis biasanya selalu dihindari oleh sebagian muslim karena berasal dari kebudayaan Yunani yang pagan. Karena itu, bagi mereka, istilah demokratis itu sejenis istilah kufur.
Padahal sistem demokrasi ini kalau dilihat secara semangatnya tidak jauh berbeda dengan konsep khilafah ala minhaj nubuwwah; kepemimpinan umat yang didasarkan kepada sistem kenabian.
Apa itu minhaj nubuwwah atau sistem kenabian? Pemerintahan yang didasarkan kepada sistem kenabian ialah sistem pemerintahan yang nabi gunakan dalam memimpin umat di masa itu.
Kalau kita membaca secara lebih jeli literatur-literatur sirah kenabian seperti yang ditulis oleh Ibnu Ishak, Ibnu Hisyam, at-Tabari, Ibnu Saad dan lain-lain tentang bagaimana relasi Nabi dengan umat Islam saat itu, niscaya akan kita temukan istilah Muhammad wa sahabatuhu (Muhammad dan para sahabatnya) sangat sering digunakan baik oleh Nabi sendiri maupun oleh musuh-musuhnya Nabi dari kalangan Musyrik Quraish.
Apa pentingnya istilah Muhammad wa Sahabatuhu ini? Istilah politik Nabi ini tentu sangat penting karena ia memiliki relasi yang kuat dengan istilah al-khilafah ala minhaj nubuwwah. Jadi satu-satunya tafsir yang tepat terhadap makna khilafah ala minhaj nubuwwah ialah dengan mengaitkannya dengan konsep Muhammad wa Sahabatuhu.
Artinya khilafah ala minhaj nubuwwah sangat ditentukan maknanya oleh istilah Muhammad wa Sahabutuhu. Artinya sistem pemerintahan yang didasarkan kepada metode kenabian ialah sistem pemerintahan yang relasi pemimpin dan yang dipimpinnya tidak didasarkan kepada relasi atasan bawahan, tapi didasarkan kepada sistem egalitarianisme: Muhammad wa Sahabatuhu (Muhammad dan Kawan-Kawan)
Dalam istilah politik Nabi, tidak kita temukan Muhammad dan budaknya, atau Muhammad dan rakyatnya dan seterusnya. Kenapa demikian? Karena istilah tersebut mencerminkan semangat atasan-bawahan atau secara lebih kasar lagi mencerminkan otoritarianisme.
Lain halnya dengan istilah Muhammad wa Sahabatuhu, istilah ini mencerminkan egalitarianisme yang tidak memungkinkan hadirnya sistem otoriter dalam sistem pemerintahan kenabian. Dengan kata-kata lain, mengikuti sunnah Nabi dalam berpolitik ialah dengan cara menghilangkan sistem otoritarianisme dalam cara-cara memimpin.
Inilah makna khilafah ala minhaj nubuwwah dan inilah sunnah Nabi. Jadi negara kita jika benar-benar menerapkan sistem pemerintahan yang menentang otoritarianisme dan mengadopsi egalitarianism dalam relasi pemimpin dan yang dipimpinnya, tentu dapat juga disebut sebagai negara khilafah ala minhaj nubuwwah.
Teori-teori kekhilafahan yang ditulis oleh al-Mawardi, at-Turtusyi, al-Jahidz dan lain-lain sangat mencerminkan sistem otoritarianisme Persia yang tidak ada presedennya dalam tradisi kekabilahan Arab dan Islam. Parahnya lagi, banyak para pemikir khilafah seperti Taqiyyuddin an-Nabhani dan lain-lain mengadopsi pemikiran-pemikiran mereka secara mentah-mentah. Jadilah teori khilafah yang diproduknya sangat mencerminkan otoritarianisme. Misalnya ketidakbolehan khalifah yang lebih dari satu atau masa jabatan khalifah yang seumur hidup merupakan satu dari sekian teori-teori khilafahnya yang menjurus ke arah otoritarianisme.
Singkatnya, Indonesia yang berasaskan Pancasila dan UUD 45 sebenarnya tidak lain adalah satu jenis pemerintahan yang dipredikasi Nabi sebagai yang memiliki semangat khilafah ala minhaj nubuwwah dan tentu kita harus kawal terus-menerus agar terhindar dari menyusupnya sistem otoritarianisme yang diwariskan oleh sistem khilafah ala HTI dan sistem pemerintahan ala Komunisme. Semoga.
#muslimsejati
Tidak ada komentar