Para Wijayanto dan Wajah Baru Jamaah Islamiyah
Tertangkapnya Para Wijayanto (PW) pada akhir Juni 2019 lalu, berhasil mengungkap wajah baru organisasi Jamaah Islamiyah (JI) yang selama ini tabirnya tertutup rapat oleh aparatur negara.
Siapa sesungguhnya Para Wijayanto? Dan apa perannya dalam organisasi Jamaah Islamiyah? Bukankah organisasi ini disebut-sebut telah mati, lalu bernarkah bahwa ia muncul kembali? Atau ini hanya sebatas konspirasi pemerintah sekedar untuk mencari sensasi?
Tulisan ini mencoba menjawab pada artikel sebelumnya, berjudul ‘Benarkah Jamaah Islamiyah Masih Eksis?’ yang rilis pada Minggu (7/7/2019) lalu.
Permasalahan terorisme ini ibarat penyakit kronis yang mustahil untuk diberantas hingga ke akarnya. Tak hanya di Indonesia, hal ini juga menjadi pekerjaan rumah di hampir semua negara. Tidak ada cara jitu, yang ada hanyalah solusi yang bersifat penanganan alternatif.
Tadinya, publik mengapresiasi langkah hukum pemerintah dengan mengeksekusi mati pelaku bom Bali dan membongkar jaringannya. Munculnya Ali Imron dan Umar Patek yang ikut tergabung dalam program deradikalisasi bersama BNPT, menguatkan asumsi bahwa pemerintah benar-benar berhasil mengatasi persoalan terorisme ini. Namun semenjak nama JI muncul kembali ke publik, seolah kita merasa bahwa persoalan ini belum sepenuhnya tuntas.
Pasalnya, nama JI terkadung santer di berbagai kalangan termasuk para praktisi isu terorisme sebagai organisasi yang kini lebih memilih untuk ‘tiarap’ dan menghindari berbagai konfrontasi. Tak seperti rivalnya, ISIS, kelompok JI terkesan jauh lebih berhati-hati dan tidak gegabah dalam setiap putusan yang diambil.
Dalam kasus bom Bali 2002 misalnya. Kelompok JI dianggap bertanggungjawab atas serangan tersebut. Sejak itu, perang terhadap JI dimulai. Polisi memburu dan menangkapi siapa saja yang dianggap terlibat dalam jaringan. Dan semenjak itu pula, nama JI muncul sebagai konsumsi pasar.
Peristiwa bom Bali tentu menjadi refleksi bagi organisasi. Tak ingin kesalahan ini terulang, JI lantas melakukan konsolidasi dengan menata ulang struktur internal jaringan.
Terungkapnya organisasi JI ke publik pasca peristiwa bom Bali 2002 dan konflik di Tanah Runtuh, Poso pada 2007 silam, berhasil membongkar kedok yang selama ini tertutup rapat. Anggota jamaah yang tertangkap dalam kedua peristiwa di atas menjelaskan bahwa semenjak serangan bom Bali, organisasi JI banyak mengalami perubahan terutama dikarenakan tertangkapnya beberapa tokoh inti dan hancurnya sejumlah sel yang sudah dibentuk pasca bom Bali. Keadaan ini membuat organisasi JI menjadi semakin menciut. Namun demikian, anggota yang ada tetap mempertahankan agar JI tetap survive dengan segala sumber daya yang masih dimiliki.
Rotasi struktur organisasi
Dalam catatan Tito Karnavian melalui bukunya ‘Indonesian Top Secret: Membongkar Konflik Poso’, setelah amir pertama dalam struktur Jamaah Islamiyah, Abdullah Sungkar meninggal pada tahun 1999, posisinya kemudian digantikan oleh Abu Bakar Ba’asyir (ABB).
Namun amir kedua ini kemudian ditangkap dan ditahan polisi atas dugaan keterlibatannya dalam serangan bom di Bali. Meskipun akhirnya ABB dibebaskan kembali tak lama setelah penangkapannya karena tidak cukup bukti.
Terkait penunjukan ABB sebagai amir JI, muncul perdebatan di kalangan internal JI. Dalam wawancara Gatra bersama Thoriquddin alias Abu Rusydan (9/26/2009) menyebut, “Setelah 1999, secara struktural, JI tidak wujud. Karena tidak pernah diangkat Amir pengganti Ustadz Sungkar, yang sesuai Syari’at Islam dan ketentuan PUPJI (Pedoman Umum Perjuangan JI). Syari’at Islam tidak pernah mengenal istilah ‘Amir Darurat’ dan ‘Pelaksana Tugas Harian Amir’. PUPJI juga tidak mengatur itu”.
“Setelah 1999, memang ada upaya beberapa anasir JI untuk mengangkat Ustadz Ba`asyir sebagai amir. Tetapi tidak pernah tercapai kesepakatan yang sesuai PUPJI dan syari’at Islam. Jadi kalau Ustadz Ba`asyir menyatakan bukan Amir JI, itu betul. Sejak 1999, secara institusional, JI sudah tidak wujud. Tidak ada lagi lembaga JI. Yang ada anasir JI. Termasuk Ustadz Ba`asyir, saya, dan Hambali, itu anasir JI. Tidak ada kesepakatan dalam sebuah institusi,” tambah Abu Rusydan.
Sebagaimana dalam kesaksian Abu Dujana dan Zarkasih, amir JI yang tadinya dipegang oleh ABB lantas digantikan oleh Abu Rusydan. Namun tak lama kemudian, Abu Rusydan pun ditangkap pada 2003 oleh pihak kepolisian. Adung alias Sunarto alias Abu So’im alias Abdul Hadi alias Imam Ghozali akhirnya menggantikannya. Adung bernasib sama, ia pun ditangkap kepolisian pada tahun 2004 atau setahun setelahnya.
Untuk mengisi kekosongan tersebut, pada awal 2004 di sebuah rumah di Sleman, Yogyakarta, Zarkasih mengambil inisiatif untuk membentuk LILA (Lajnah Ihtiar Linasbil Amir), yaitu struktur organisasi yang bersifat sementara dan bertujuan untuk melaksanakan fungsi organisasi Jamaah Islamiyah karena organisasi ini relatif rapuh dan sudah makin melemah pasca penangkapan sejumlah pimpinan jama’ah sebelumnya.
LILA bertugas untuk mencari dan mewujudkan figur-figur amir yang layak memimpin JI serta menjalankan fungsi-fungsi dakwah dan pendidikan serta membahas persoalan-persoalan strategis untuk perjuangan Islam. Pembentukan struktur itu dihadiri oleh empat tokoh, yaitu Zarkasih sebagai inisiator, Abu Dujana, Abdur Rohim dan Abdul Halim.
Dalam struktur ini, Zarkasih disetujui untuk mengemban tugas sebagai Ketua LILA atau menjabat sebagai amir JI sementara. Zarkasih lantas menunjuk Abdul Halim sebagai Ketua Bidang Dakwah, Abdur Rohim sebagai Ketua Bidang Tarbiyah/Pendidikan, Para Wijayanto alias Wahid sebagai Ketua Bidang Perbekalan, dan Abu Dujana sebagai Ketua Bidang Syari’ah/Asykari.
Bidang dakwah bertugas untuk mendakwahkan Islam yang ‘benar’ ke seluruh Indonesia. Bidang tarbiyah atau pendidikan mengelolah pondok-pondok pesantren dan yayasan pendidikan. Sementara bidang perbekalan melakukan aktivitas pelayanan kepada keluarga mujahid yang ditahan polisi, mengamankan seluruh aset organisasi, termasuk persenjataan, serta mengurus bagian donasi/keuangan. Adapun bidang asykari atau syari’ah bertugas untuk menangani masalah-masalah ke-asykari-an seperti rekrutmen, pelatihan militer maupun operasi jihad.
Bidang asykari di bawah tanggung jawab Abu Dujana ini membawahi 4 ishobah. Diantaranya, Ishobah I; Solo, Ishobah II; Semarang, Ishobah III; Surabaya, dan Ishobah IV; Jakarta.
Abu Dujana sendiri akhirnya ditangkap oleh Satgas Bom Polri pada 9 Juni 2007 di Desa Kemrajen, Banyumas, Jawa Tengah sekitar pukul 11.10 WIB tidak jauh dari rumah miliknnya. Kemudian pada hari yang sama, berlanjut pada penangkapan sejumlah orang, termasuk diantaranya adalah Zahroni alias Zainudin Fahmi alias Oni alias Mbah alias Abu Irsyad alias Zarkasih alias Nu’aim, amir sementara JI.
Penangkapan mereka ini berkaitan dengan aktivitas ilegal pengiriman senjata dari Jawa ke Poso, dimana muncul dugaan kuat bahwa senjata-senjata tersebut digunakan oleh kelompok JI untuk melakukan pelatihan militer dan aksi amaliyah. Termasuk senjata yang digunakan oleh kelompok Santoso dan Daeng Koro dalam sejumlah aksi teror belakangan ini diduga juga berasal dari Jawa.
Dari beberapa nama di atas, Para Wijayanto termasuk salah satu yang berhasil lolos dari sergapan aparat. Sejak itu, namanya masuk dalam daftar hitam kepolisian sebagai DPO.
Lalu, siapa Para Wijayanto?
Para Wijanto berasal dari Kecamatan Kalijati, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Pria kelahiran Agustus 1964 ini merupakan anak dari pasangan Wikanto dan Wuyaningsing. Wikanto sendiri adalah purnawirawan TNI Angkatan Udara (AU) Kalijati.
Ia juga disebut memiliki hubungan baik dengan Ibrahim Thayib alias Abu Husna, mantan petinggi Jamaah Islamiyah yang kini berbalik mendukung ISIS. Kabarnya, anak laki-laki dari Para Wijayanto, Askar Sibghotul Haq, menikahi anak perempuan Abu Husna, Husna.
Tahun 2000, Para Wijayanto sempat berangkat ke Mindanao, Filipina untuk mengikuti program pelatihan militer short course di Kamp Hudaibiyah milik MILF (Muslim Islamic Liberation Front).
Diketahui sejak tahun 90-an, MILF telah membangun hubungan kerjasama dengan kelompok JI. Hubungan ini terbentuk semenjak adanya keterlibatan WNI maupun warga Filipina yang turut dalam kancah jihad global melawan invansi pasukan Uni Soviet di Afghanistan di bawah faksi Al Ittihad Al Islamiyah pimpinan Abdur Robi Rasul Sayyaf. Faksi ini mengakomodir para muhajidin yang datang dari berbagai negara, termasuk Indonesia.
Sepulangnya dari Afghanistan, para veteran ini kemudian mendirikan Kamp Pelatihan Hudaibiyah yang diperlukan untuk memberikan pendidikan militer bagi kader-kader jamaah. Termasuk salah satunya Para Wijanyanto.
#muslimsejati #zonamuslim #indonesia #nusantara #khilafah #bhinekatunggalika #intoleran #Islam #merahputih #islampedia #bangsa #negara
Siapa sesungguhnya Para Wijayanto? Dan apa perannya dalam organisasi Jamaah Islamiyah? Bukankah organisasi ini disebut-sebut telah mati, lalu bernarkah bahwa ia muncul kembali? Atau ini hanya sebatas konspirasi pemerintah sekedar untuk mencari sensasi?
Tulisan ini mencoba menjawab pada artikel sebelumnya, berjudul ‘Benarkah Jamaah Islamiyah Masih Eksis?’ yang rilis pada Minggu (7/7/2019) lalu.
Permasalahan terorisme ini ibarat penyakit kronis yang mustahil untuk diberantas hingga ke akarnya. Tak hanya di Indonesia, hal ini juga menjadi pekerjaan rumah di hampir semua negara. Tidak ada cara jitu, yang ada hanyalah solusi yang bersifat penanganan alternatif.
Tadinya, publik mengapresiasi langkah hukum pemerintah dengan mengeksekusi mati pelaku bom Bali dan membongkar jaringannya. Munculnya Ali Imron dan Umar Patek yang ikut tergabung dalam program deradikalisasi bersama BNPT, menguatkan asumsi bahwa pemerintah benar-benar berhasil mengatasi persoalan terorisme ini. Namun semenjak nama JI muncul kembali ke publik, seolah kita merasa bahwa persoalan ini belum sepenuhnya tuntas.
Pasalnya, nama JI terkadung santer di berbagai kalangan termasuk para praktisi isu terorisme sebagai organisasi yang kini lebih memilih untuk ‘tiarap’ dan menghindari berbagai konfrontasi. Tak seperti rivalnya, ISIS, kelompok JI terkesan jauh lebih berhati-hati dan tidak gegabah dalam setiap putusan yang diambil.
Dalam kasus bom Bali 2002 misalnya. Kelompok JI dianggap bertanggungjawab atas serangan tersebut. Sejak itu, perang terhadap JI dimulai. Polisi memburu dan menangkapi siapa saja yang dianggap terlibat dalam jaringan. Dan semenjak itu pula, nama JI muncul sebagai konsumsi pasar.
Peristiwa bom Bali tentu menjadi refleksi bagi organisasi. Tak ingin kesalahan ini terulang, JI lantas melakukan konsolidasi dengan menata ulang struktur internal jaringan.
Terungkapnya organisasi JI ke publik pasca peristiwa bom Bali 2002 dan konflik di Tanah Runtuh, Poso pada 2007 silam, berhasil membongkar kedok yang selama ini tertutup rapat. Anggota jamaah yang tertangkap dalam kedua peristiwa di atas menjelaskan bahwa semenjak serangan bom Bali, organisasi JI banyak mengalami perubahan terutama dikarenakan tertangkapnya beberapa tokoh inti dan hancurnya sejumlah sel yang sudah dibentuk pasca bom Bali. Keadaan ini membuat organisasi JI menjadi semakin menciut. Namun demikian, anggota yang ada tetap mempertahankan agar JI tetap survive dengan segala sumber daya yang masih dimiliki.
Rotasi struktur organisasi
Dalam catatan Tito Karnavian melalui bukunya ‘Indonesian Top Secret: Membongkar Konflik Poso’, setelah amir pertama dalam struktur Jamaah Islamiyah, Abdullah Sungkar meninggal pada tahun 1999, posisinya kemudian digantikan oleh Abu Bakar Ba’asyir (ABB).
Namun amir kedua ini kemudian ditangkap dan ditahan polisi atas dugaan keterlibatannya dalam serangan bom di Bali. Meskipun akhirnya ABB dibebaskan kembali tak lama setelah penangkapannya karena tidak cukup bukti.
Terkait penunjukan ABB sebagai amir JI, muncul perdebatan di kalangan internal JI. Dalam wawancara Gatra bersama Thoriquddin alias Abu Rusydan (9/26/2009) menyebut, “Setelah 1999, secara struktural, JI tidak wujud. Karena tidak pernah diangkat Amir pengganti Ustadz Sungkar, yang sesuai Syari’at Islam dan ketentuan PUPJI (Pedoman Umum Perjuangan JI). Syari’at Islam tidak pernah mengenal istilah ‘Amir Darurat’ dan ‘Pelaksana Tugas Harian Amir’. PUPJI juga tidak mengatur itu”.
“Setelah 1999, memang ada upaya beberapa anasir JI untuk mengangkat Ustadz Ba`asyir sebagai amir. Tetapi tidak pernah tercapai kesepakatan yang sesuai PUPJI dan syari’at Islam. Jadi kalau Ustadz Ba`asyir menyatakan bukan Amir JI, itu betul. Sejak 1999, secara institusional, JI sudah tidak wujud. Tidak ada lagi lembaga JI. Yang ada anasir JI. Termasuk Ustadz Ba`asyir, saya, dan Hambali, itu anasir JI. Tidak ada kesepakatan dalam sebuah institusi,” tambah Abu Rusydan.
Sebagaimana dalam kesaksian Abu Dujana dan Zarkasih, amir JI yang tadinya dipegang oleh ABB lantas digantikan oleh Abu Rusydan. Namun tak lama kemudian, Abu Rusydan pun ditangkap pada 2003 oleh pihak kepolisian. Adung alias Sunarto alias Abu So’im alias Abdul Hadi alias Imam Ghozali akhirnya menggantikannya. Adung bernasib sama, ia pun ditangkap kepolisian pada tahun 2004 atau setahun setelahnya.
Untuk mengisi kekosongan tersebut, pada awal 2004 di sebuah rumah di Sleman, Yogyakarta, Zarkasih mengambil inisiatif untuk membentuk LILA (Lajnah Ihtiar Linasbil Amir), yaitu struktur organisasi yang bersifat sementara dan bertujuan untuk melaksanakan fungsi organisasi Jamaah Islamiyah karena organisasi ini relatif rapuh dan sudah makin melemah pasca penangkapan sejumlah pimpinan jama’ah sebelumnya.
LILA bertugas untuk mencari dan mewujudkan figur-figur amir yang layak memimpin JI serta menjalankan fungsi-fungsi dakwah dan pendidikan serta membahas persoalan-persoalan strategis untuk perjuangan Islam. Pembentukan struktur itu dihadiri oleh empat tokoh, yaitu Zarkasih sebagai inisiator, Abu Dujana, Abdur Rohim dan Abdul Halim.
Dalam struktur ini, Zarkasih disetujui untuk mengemban tugas sebagai Ketua LILA atau menjabat sebagai amir JI sementara. Zarkasih lantas menunjuk Abdul Halim sebagai Ketua Bidang Dakwah, Abdur Rohim sebagai Ketua Bidang Tarbiyah/Pendidikan, Para Wijayanto alias Wahid sebagai Ketua Bidang Perbekalan, dan Abu Dujana sebagai Ketua Bidang Syari’ah/Asykari.
Bidang dakwah bertugas untuk mendakwahkan Islam yang ‘benar’ ke seluruh Indonesia. Bidang tarbiyah atau pendidikan mengelolah pondok-pondok pesantren dan yayasan pendidikan. Sementara bidang perbekalan melakukan aktivitas pelayanan kepada keluarga mujahid yang ditahan polisi, mengamankan seluruh aset organisasi, termasuk persenjataan, serta mengurus bagian donasi/keuangan. Adapun bidang asykari atau syari’ah bertugas untuk menangani masalah-masalah ke-asykari-an seperti rekrutmen, pelatihan militer maupun operasi jihad.
Bidang asykari di bawah tanggung jawab Abu Dujana ini membawahi 4 ishobah. Diantaranya, Ishobah I; Solo, Ishobah II; Semarang, Ishobah III; Surabaya, dan Ishobah IV; Jakarta.
Abu Dujana sendiri akhirnya ditangkap oleh Satgas Bom Polri pada 9 Juni 2007 di Desa Kemrajen, Banyumas, Jawa Tengah sekitar pukul 11.10 WIB tidak jauh dari rumah miliknnya. Kemudian pada hari yang sama, berlanjut pada penangkapan sejumlah orang, termasuk diantaranya adalah Zahroni alias Zainudin Fahmi alias Oni alias Mbah alias Abu Irsyad alias Zarkasih alias Nu’aim, amir sementara JI.
Penangkapan mereka ini berkaitan dengan aktivitas ilegal pengiriman senjata dari Jawa ke Poso, dimana muncul dugaan kuat bahwa senjata-senjata tersebut digunakan oleh kelompok JI untuk melakukan pelatihan militer dan aksi amaliyah. Termasuk senjata yang digunakan oleh kelompok Santoso dan Daeng Koro dalam sejumlah aksi teror belakangan ini diduga juga berasal dari Jawa.
Dari beberapa nama di atas, Para Wijayanto termasuk salah satu yang berhasil lolos dari sergapan aparat. Sejak itu, namanya masuk dalam daftar hitam kepolisian sebagai DPO.
Lalu, siapa Para Wijayanto?
Para Wijanto berasal dari Kecamatan Kalijati, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Pria kelahiran Agustus 1964 ini merupakan anak dari pasangan Wikanto dan Wuyaningsing. Wikanto sendiri adalah purnawirawan TNI Angkatan Udara (AU) Kalijati.
Ia juga disebut memiliki hubungan baik dengan Ibrahim Thayib alias Abu Husna, mantan petinggi Jamaah Islamiyah yang kini berbalik mendukung ISIS. Kabarnya, anak laki-laki dari Para Wijayanto, Askar Sibghotul Haq, menikahi anak perempuan Abu Husna, Husna.
Tahun 2000, Para Wijayanto sempat berangkat ke Mindanao, Filipina untuk mengikuti program pelatihan militer short course di Kamp Hudaibiyah milik MILF (Muslim Islamic Liberation Front).
Diketahui sejak tahun 90-an, MILF telah membangun hubungan kerjasama dengan kelompok JI. Hubungan ini terbentuk semenjak adanya keterlibatan WNI maupun warga Filipina yang turut dalam kancah jihad global melawan invansi pasukan Uni Soviet di Afghanistan di bawah faksi Al Ittihad Al Islamiyah pimpinan Abdur Robi Rasul Sayyaf. Faksi ini mengakomodir para muhajidin yang datang dari berbagai negara, termasuk Indonesia.
Sepulangnya dari Afghanistan, para veteran ini kemudian mendirikan Kamp Pelatihan Hudaibiyah yang diperlukan untuk memberikan pendidikan militer bagi kader-kader jamaah. Termasuk salah satunya Para Wijanyanto.
#muslimsejati #zonamuslim #indonesia #nusantara #khilafah #bhinekatunggalika #intoleran #Islam #merahputih #islampedia #bangsa #negara
Tidak ada komentar