Radikalisme dalam Kajian Psikologis
Sumber : Harakatuna
Radikalisme merupakan fenomena yang semakin marak di Indonesia dalam beberapa tahun akhir. Hal ini ditandai antara lain dengan lahirnya organisasi-organisasi keagamaan yang sering menggunakan cara-cara kekerasan dalam menjalankan misinya. Organisasi Islam radikal memiliki karakteristik, varian dan orientasi yang bermacam-macam. Namun demikian, ada kesamaan di antara organisasi-organisasi Islam radikal, yaitu penggunaan jalan kekerasan. Pertumbuhan secara masif gerakan Islam radikal mendapatkan respons yang beragam dari berbagai pihak. Ada yang memberikan respons positif dengan mendukung, ada yang memberi respons reaktif-emosional, ada yang memberikan respons kreatif, dan ada juga yang merespon secara anarkis. Sejauh ini, respons yang diberikan belum membendung apalagi menghentikan laju pertumbuhan gerakan Islam radikal. Justru ada kecenderungan terjadi peningkatan jumlah anggota pada berbagai organisasi Islam radikal. Eksistensi organisasi Islam radikal sesungguhnya merupakan ancaman bagi masa depan Islam Indonesia. Islam Indonesia merupakan Islam yang dikenal dengan karakter ramah, toleran dan humanis. Dinamika dan pertumbuhan Islam di Indonesia selama ratusan tahun menunjukkan bahwa Islam toleran dan damai dapat hidup menyatu dengan masyarakat Indonesia. Islam radikal sesungguhnya merupakan karakteristik Islam yang tidak memiliki harapan hidup di masa depan. Hal ini disebabkan oleh salah satunya penafian yang dilakukan oleh kelompok Islam radikal terhadap kearifan nilai-nilai kultur Indonesia. Karena tidak menghargai terhadap nilai-nilai kultur Indonesia maka Islam radikal sering menggunakan cara-cara yang bertentangan dengan realitas budaya yang telah mengakar kuat di masyarakat. Tidak jarang kelompok Islam radikal menggunakan jalan kekerasan dalam melaksanakan aktivitasnya. Jalan kekerasan yang mereka tempuh akan memicu timbulnya kekerasan demi kekerasan berikutnya. Jika Islam radikal terus mengembangkan sayap ke berbagai bidang kehidupan maka kehidupan damai dan toleran akan semakin sulit untuk kita temukan. Radikalalisme dalam Psikologi Ilmu psikologi dengan segala variannya bisa memberikan perspektif yang menarik dalam mengkaji perilaku radikalisme, ada pendapat menarik dari Dr. Fidiansyah yang merupakan Seksi Religi, Spiritualitas dan Psikiatri dari Perhimpunan Dokter Spesialis Kejiwaan Indonesia (PDSKJI), yaitu kelompok yang memang menghubungkan apa yang Einstein sejak dahulu kala mengatakan, “ilmu tanpa agama adalah suatu hal yang bisa membutakan, tapi agama tanpa ilmu bisa lumpuh”. Dalam perkembangan ilmu psikiatri tidak dapat dipisahkan antara dua komponen, yaitu agama dan ilmu. Yang selama ini terjadi adalah pendikotomian ilmu pengetahuan yang kita dapat secara sepihak, lalu menghilangkan aspek spiritualitas. Padahal definisi kesehatan yang kita pakai dalam undang-undang kesehatan itu jelas. Kesehatan terdiri dari fisik, mental, spiritual, dan sosial. Jadi tidak dapat dipisahkan aspek spiritual (agama dan ideologi, red) dan sosial dalam sebuah penentuan diagnosis dalam sebuah gangguan atau penyimpangan. Ketika ada penyimpangan yang dialami, maka terapi yang dilakukan dalam bentuk konseling ada banyak. Ibaratnya, jika seseorang dikonseling oleh maling maka akan jadi maling, jika seseorang dikonseling oleh koruptor maka akan jadi koruptor, dan jika seseorang dikonseling oleh orang yang memiliki pemahaman atau ideologi yang ngawur, jadinya bisa ngawur juga seperti tindakan terorisme. Dalam konseling ada prosesnya, ada empat pendekatan untuk mengobati penyimpangan tindakan. Kalau ada aspek yang sakit organ-biologi akan diberikan obat, kalau ada aspek psikologi kita rubah perilakunya, kalau ada cara berpikir yang keliru dirubah kognitifnya, kalau ada perubahan lingkungan yang berpengaruh kita rubah modifikasi daripada lingkungan sosialnya, kalau ada pemahaman yang keliru dari spiritualitasnya kita kembalikan pada agamanya untuk mengatasinya (ideologi, red). Psikologi agama sebagai salah satu cabang psikologi berperan penting dalam menjelaskan motivasi kekerasan keagamaan yang dilakukan oleh individu-individu yang menggunakan agama sebagai inspirasi, dan upaya pencegahannya, termasuk misalnya bagaimana mengubah seorang yang radikal atau teroris sekalipun menjadi tidak lagi terlibat dalam radikalisme dan perilaku teror. Motivasi tindakan terorisme bisabersifat patologi psikologis atau patologi social, tetapi bisa jugabersifat politik, walaupun penelitian mutakhir yang dilakukan oleh sejumlah psikiater dan psikolog menyimpulkanbahwa para terorisumumnya adalah kumpulanorang-orang yang normal yangsama sekali jauhdari karakteristik abnormalatau patologis. Bahkan, penelitian menegaskan bahwa mereka adalah kumpulan orang normal yang menyadari sepenuhnya tindakan mereka karena aksi teror mereka didasarkan atas ideologi dan keyakinan tertentu, serta digerakkan oleh tujuan tertentu. Maka aspek belief yang merupakan hal tersulit untuk diubah kembali ke dalam pemikiran dan sikap yang jauh lebih normal (yang nanti pemikiran atau kognisi yang benar juga akan berpengaruh terhadap perilakunya) harus di counter dan dikembalikan dengan pemahaman agama (ideology, red) yang benar, selain menggunakan lima pendekatan yang terdiri dari; hukum, perilaku, ekonomi, sosial, dan deradikalisasi, juga dilakukan terapi dengan psikologi agama. Penulis adalah Mahasiswa Magister Psikologi UII Yogyakarta, Wakil Sekretaris PC GP Ansor Kabupaten Jepara dan Pengurus Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) Wilayah Jawa Tengah.
#muslimsejati #zonamuslim #indonesia #nusantara #khilafah #bhinekatunggalika #intoleran #Islam #merahputih #islampedia #bangsa #negara
Tidak ada komentar