Breaking News

Nasionalisme dan Agama; Dua Kutub yang Berbeda?

17 Agustus sudah di depan mata. Sebuah hari yang besar dan paling diingat-ingat oleh segenap bangsa Indonesia, tidak hanya generasi saat ini, melainkan juga akan diingat oleh generasi yang akan datang. Karena pada tanggal 17 Agustus 1945 silam, Indonesia mendapat kado luar biasa, yakni kemerdekaan.

Maka tak ayal jika tanggal 17 Agustus pasti segenap masyarakat Indonesia merayakan hari kemerdekaan itu; menghormati jasa para pahlawan yang gugur di medan perang membela Indonesia dan juga sebagai langkah untuk merefleksikan kemerdekaan itu sediri dalam konteks kekinian dan kedisinian.

Terlepas dari hiruk-pikuk dan euforia dalam menyambut Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-74, ada satu hal yang patut diperhatikan sekaligus dijadikan sebagai bahan untuk menyongsong masa depan Indonesia lebih baik sebagaimana cita-cita pendiri bangsa ini, yaitu menguatkan nasionalisme dan menyeimbangkan hubungan negara dan agama menjadi satu tarikan nafas.

Saat ini Indonesia dihadapkan pada persoalan persatuan dan kesatuan. Kita tahu betul bahwa suku, ras, agama, dan antar golongan (SARA) kerap dijadikan alat untuk meneror harmoni kehidupan masyarakat global, terutama isu berbau identitas ini sering digunakan atas dasar jihad agama. Jihad yang ingin menyatukan agama (religius), dan negara (nasionalisme). Tentu hal ini tidak tepat dipraktikkan di negara Pancasila.

Nasionalisme adalah istilah kecintaan kita terhadap bangsa, dan negara. Sedangkan agama merupakan simbol atau tatanan nilai moral masyarakat, pengejawantahan suatu gagasan yang berbasis wawasan kebangsaan ini memang masih menimbulkan pro-kontra di kalangan masyarakat. Pun ada kritik sekaligus penolakan terhadap keberadaan negara kebangsaan yang menganggap hal itu adalah sekularisasi.

Atas penolakan ini, pandangan Salim Ali al-Bahnasawi dalam bukunya (Wawasan Sistem Politik Islam: 1995), mengatakan, “penolakan-penolakan yang terjadi di kalangan komunitas muslim terhadap nasionalisme sekuler disebabkan oleh adanya kecenderungan bahwa, gagasan tersebut mengarah pada “agama baru” yang menuntut loyalitas komunitasnya terhadapnya tanpa ada loyalitas kepada yang lain”. Agama baru ini, oleh sebagian peneliti mengarah pada kekerasan dalam beragama.

Baca Juga: Pancasila Sakti, Radikalisme Mati
Padahal dalam praktiknya, peneguhan nasionalisme tujuannya bukan semata-mata untuk membawa kekerasan atau cenderung mengarah kepada fundamentalisme agama, yang melahirkan dari cara pandang tekstualis, dan skriptualis. Karena itu, nasionalisme kita ini merupakan penyegaran terhadap prinsip negara kebangsaan (nation state).

Dari wawasan kebangsaan ini, maka mestinya agama tidak perlu tampil dalam konteks yang formal, yakni dengan menjadikan agama sebagai alat mengatur kehidupan bernegara. Namun, seharunya negara tampil dengan gigih mengurus persoalan agama, sehingga dengan peran negara dan agama ini paling tidak itu adalah pembentukan etika sosial.

Ormas Anti Negara Kebangsaan
Titik temu nasionalisme, dan agama tidak hanya mendapat respon integratif, tetapi juga kelompok-kelompok Islam radikal tidak mau kalah dengan titik temu antara nasionalisme dan agama itu. Bahkan, segelintir kelompok itu telah memulai gerakan yang didasarkan kepada ide pendirian khilafah islamiyah. Di antaranya, HTI, Ikhwanul Muslimin, dan FPI.

Dari sumber persoalan itu, maka deklarasi NU-Muhammadiyah dalam mengukuhkan Indonesia sebagai negara kebangsaan, karena melihat realitas kehidupan saat ini. Negara banyak dituntut untuk mendirikan negara Islam Indonesia (NII), di mana kebijakan yang diadopsi dalam pemerintahan itu adalah sistem pemerintahan Islam.


Selain itu, masalah sosial, ekonomi, politik, dan hukum merupakan sistem yang kerap dipersoalkan. Dari organisasi esktrem itu, terlampau jauh menolak Pancasila sebagai ideologi negara, hidup tanpa Pancasila maka nasionalisme dan agama posibilitas tidak akan bertemu. Sebab itu, perlu kita perkenalkan kepada masyarakat.

Dalam hubungan ini, negara kebangsaan Indonesia perlu kita lindungi dari masalah-masalah suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA), karena isu demikian sangat berpotensi merusak persatuan, perbedaan, dan kebersamaan bangsa. Maka dari itu, negara dan agama memiliki kedudukan tinggi untuk berperan memajukan wawasan kebangsaan.

Baca Juga: Aroma Surga Tanggal Dua Dua
Sekian banyak masalah-masalah yang muncul, kita harus menyadari dengan ide pergantian menjadi negara Islam atau khilafah Islamiyah tampak memperlihatkan sebuah organisasi atau pun gerakan Islam radikal yang menolak Pancasila, tentu hal ini membutuhkan terobosan peran negara agar agama tidak menjadi penindas negara.

Pemerintah setidaknya menjalin kerjasama yang baik dengan elit-elit agama, dan masyarakat untuk tidak ikut serta dalam kegiatan-kegiatan yang dapat merusak persatuan, perbedaan, dan kebersamaan. Karena itu, terkait masa depan bangsa dan negara merupakan tanggung jawab kita semua untuk meluruskan pemahaman-pemahaman yang masih menolak.

Mengamalkan Fatwa Ulama
Kyai Hasyim Asy’ari adalah tokoh agama yang cukup dikenal nasionalis-religius menegaskan “Hubbul Wathan Min al Iman”. Artinya, cinta tanah air adalah sebagian dari iman. Pesan moral ini memiliki makna penting bahwa nasionalisme dan agama memang merupakan dua kutub berbeda yang sifatnya integratif.

Dari fatwanya pun tampak mencerminkan seorang kyai atau ulama yang responsif, toleran, dan akomodatif, sehingga jargon yang disampaikan dapat kita jadikan pelajaran penting untuk memperkuat esensi keislaman, kebangsaan, dan keindonesiaan itu sendiri sebagai suatu upaya atau tuntutan untuk merawat negeri tercinta ini.

Menurut hemat penulis, esensi yang ada itu bagian dari solusi dengan pelbagai hal. Pertama, memperkuat persaudaraan antar sesama umat Islam (ukhwah Islamiyah). Kedua, membangun persaudaraan kebangsaan dan keturunan (ukhwah wathaniyah wa ansab). Ketiga, peduli persaudaraan kemanusiaan (ukhwah basyariyah).

Pun melalui langkah-langkah jalinan tiga jalinan persaudaraan, kemajemukan negara dapat menghidupkan suasana yang tentram, aman, dan nyaman. Tatanan nilai ini, adalah makna dari simbol titik temu nasionalisme dan agama yang mempersatukan kita dalam perbedaan, dan menjunjung tinggi kebersamaan.

Baca Juga: Menangkal Wacana Radikalisme di Media Massa
Dalam konteks ini, perlu peran negara, pemerintah, dan agama dalam menjaga domain kebangsaan, terutama elit-elit agama memiliki keharusan untuk menyadarkan masyarakat agar menerima nasionalisme dan agama sebagai tujuan dalam menjaga Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI yang merupakan putusan final.

Jalan terakhir yang harus kita tempuh, bagaimana isu khilafah Islamiyah harus luntur di negara kebangsaan ini atau setidaknya menyadari melakukan pertaubatan nasional bahwa nasionalisme dan agama telah mampu menghidupkan kembali semangat kebangsaan, dan semangat religius, sehingga kita pun dapat hidup tenang.


#muslimsejati #zonamuslim #indonesia #nusantara #khilafah #bhinekatunggalika #intoleran #Islam #merahputih #islampedia #bangsa #negara

Tidak ada komentar