Breaking News

MEMPERKOKOH INTENSITAS KOMUNIKASI ANTAR ANGGOTA KELUARGA DALAM ISLAM

Manusia selaku makhluk individual diciptakan Allah secara unik, tidak ada satu orang pun yang sama persis dalam bentuk wajah maupun sifat-sifatnya. Selain itu, ia juga merupakan makhluk sosial yang senantiasa memerlukan orang lain dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, baik yang bersifat biologis terlebih lagi sosiogenis. Untuk memaksimalkan potensi “unik” tersebut, mesti ada pembinaan berkelanjutan agar tidak terjadi distorsi antara manusia sebagai makhluk individu dengan manusia sebagai makhluk sosial. Institusi yang palingtepat untuk memangku tanggung jawab ini adalah ranah keluarga.
Salah satu dimensi yang membentuk ketahanan keluarga menurut buku Panduan Ketahanan Keluarga 2016 yang diterbitkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak adalah landasan legalitas dan keutuhan keluarga. Salah satu indikatornya, orang tua menyisihkan waktu khusus bersama anak. Ketersediaan waktu orang tua bersama anak-anak mereka merupakan tugas pertama orang tua, karena melalui merekalah potensi seorang anak terbentuk. Hal ini telah diisyaratkan dalam hadis Nabi Muhammad saw
"Telah bersabda Nabi saw, Tiadalah anak yang dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah (suci), maka kedua orangtuanyalah yang menjadikan anak itu Yahudi, Nasrani, atau Majusi” (HR.Muslim).
Hadis ini tergolong dalam bagian kitab Qadr pada Bab Ma’na Kullu Mauludin Yuladu ‘ala Fitrah wa Hukm Athfal al-Kufar wa Athfal al-Muslim sebanyak 7 jalur. Kata “fitrah” diartikan sebagai potensi dasar yang dibawa anak sejak lahir dan menjadi tanggung jawab orang tua untuk mengoptimalkan potensi tersebut serta mengarahkannya pada hal-hal yang menunjang pengoptimalan diri secara sempurna. Di sisi lain, frekuensi interaksi antarsetiap anggota keluarga akan semakin menyukseskan transformasi nilai-nilai luhur dalam diri anak.
Kehadiran orang tua dalam perkembangan jiwa anak sangat penting. Saat anak kehilangan fungsi orang tuanya, maka tumbuh kembangnya akan menjadi terganggu. Orang tua mesti menyadari fungsinya sebagai yang paling berhak membina, membimbing, mengawasi, dan mendampingi anak-anak mereka menjadi generasi yang berkualitas. Hal ini telah ditegaskan dalam al-Qur’an QS.al-Tahrim ayat 6,
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu,penjaganya malaikat-malaikat yang kasar lagi keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”
Ketika menafsirkan ayat ini, Sayyid Qutb berpandangan bahwa setiap mukmin berkewajiban melindungi dan membentengi diri dan keluarganya dari api neraka. Upaya untuk melaksanakan titah Ilahi di atas, salah satunya dengan membangun intensitas komunikasi dalam keluarga. Karena komunikasi merupakan konsekuensi dari hubungan sosial, maka setiap individu tidak dapat melepaskan diri dari berkomunikasi dengan orang lain terlebih keluarganya sendiri.
Komunikasi merupakan fitrah manusia, ia adalah hubungan kontak antar dan antara manusia, baik individu maupun kelompok, verbal ataupun non verbal. Setiap orang yang hidup di tengah-tengah masyarakat, sejak bangun tidur hingga tidur lagi, secara kodrati terlibat dalam jalinan komunikasi. Saking pentingnya menjalin komunikasi, sejak lahir anak sudah mesti membangun komunikasi dengan ibunya melalui penyapihan selama 2 tahun. Seperti termaktub dalam QS. Luqman ayat 14,
Artinya: “Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orangtuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya selama dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada keduaorangtuamu. Hanya kepada Aku kembalimu”.
Mufassir Modern Indonesia, Hamka, dalam kitab tafsirnya al-Azhar mengatakan bahwa sejak lahir anak mesti mendapat perhatian dari kedua orangtuanya terutama dari ibunya. Sekalipun orang tua telah bercerai, kewajiban mengurus kebutuhan anak tidak dapat dilepaskan begitu saja, dan dalam mengambil setiap keputusan orang tua mesti mempertimbangkan masa depan anaknya. Pakar tafsir Indonesia saat ini, Muhammad Quraish Shihab juga menjelaskan bahwa tujuan penyusuan anak selama dua tahun bukan sekedar untuk memelihara kelangsungan hidup anak, tetapi lebih menekankan pada pertumbuhan fisik dan psikis anak. Karena, melalui penyapihan yang sempurna (dua tahun) akan membangun komunikasi secara bathiniah antara orangtua dan anak.
Mengingat pentingnya fungsi keluarga dalam Islam, agama yang diturunkan untuk kemakmuran alam semesta ini, tidak memandang keluarga sebagai unit terkecil. Akan tetapi, Islam memandang institusi keluarga sebagai lembaga hidup manusia yang memberi peluang anggotanya untuk hidup bahagia. Karena itu, memperkokoh intensitas komunikasi dalam keluarga merupakan salah satu indikator penting dalam mewujudkan hidup yang berbahagia.
Langkah yang dapat dilakukan untuk memperkuat intensitas komunikasi keluarga agar ketahanan nasional dapat dijaga dengan kokoh antara lain:
Memperkuat intensitas komunikasi dalam keluarga dengan mengembalikan fungsi orangtua sebagai pendidik yang paling berhak menjadi panutan anak-anaknya;
Perlunya meningkatkan kesadaran orangtua agar mau bercengkerama dan menyisihkan waktu lebih banyak bersama anak-anak mereka. Hal ini dapat dimulai dari hal-hal sederhana seperti kebiasaan untuk sarapan dan makan malam bersama, dan membuat agenda liburan bersama;
Pentingnya pencanangan program pendidikan pra nikah bagi setiap warga negara yang telah memasuki usia menikah dan memberikan tuntunan tentang pembinaan rumah tangga yang berketahanan;
Mengajak para pemilik media massa baik cetak maupun elektronik untuk lebih banyak menayangkan berita tentang keharmonisan dalam keluarga, agar dapat menstimulasi masyarakat untuk berperilaku santun dan meminimalisir konten-konten yang memuat kerapuhan keluarga seperti berita perceraian public figure dan peristiwa lain yang cenderung menyebabkan masyarakat memiliki stigma negatif tentang ketahanan keluarga di Indonesia;
Mengajak para generasi millennial yang sangat menggandrungi teknologi untuk menciptakan quote-quote tentang ketahanan keluarga. Ini dapat juga diawali dengan mengadakan berbagai bentuk sayembara, festival, video pendek, atau bentuk kompetisi lain yang saat ini sangat diminati kalangan muda; dan
Mengarahkan tema-tema seminar dan pelatihan pada term-term penguatan ketahanan nasional yang bertitik tolak pada memperkuat intensitas komunikasi dalam keluarga.
Ditulis Oleh Astuti Mairinda Mahasiswi TH Fakultas Ushuluddin UIN Imam Bonjol Padang. Pengurus FKMTHI 2015-2017.
http://fkmthi.com/memperkokoh-intensitas-komunikasi-antar-anggota-keluarga-dalam-islam-1

Tidak ada komentar