Tangerang Selatan, Jaringansantri.com – Penanganan konflik separatisme Aceh dan Papua, Gus Dur membalik strategi begitu ia dipilih menjadi presiden dari era sebelumnya yang menuntut kasetiaan kepada mereka dengan pemaksaan dan kekerasan oleh Gus Dur dibalik dengan memberikan keadilan terlebih dahulu baru kemudian menuntut kesetiaan.
Dosen UNUSIA Dr. Ahmad Suaedy menjelaskan ada 3 pendekatan yang dilakukan Gus Dur dalam menangani kaum sparatis di Aceh dan Papua. Ini disampaikan dalam diskusi buku karyanya berjudul “Gus Dur, Islam Nusantara, & Kewarganegaraan : Penyelesaian Konflik Aceh & Papua 199-2001” di Sekertariat Islam Nusantara Center (INC). Ahad, 18 Agustus 2019.
1. Recognize / pengakuan. Pengakuan terhadap hak sparatis. “Di masa Orba mereka dibunuh, oleh Gus Dur hak mereka diakui dan menganggap mereka ada. diajak bicara dengan seluruh tradisi yang mereka punya,” kata Suaedy.
2. Respect, jaminan keamanan, jaminan berpendapat, kebebasan berkumpul.
Hampir tidak ada kekerasan di kawan-kawan setelah Orba. Suaedy mengatakan bahwa Teis, salah satu pemimpin papua ulang tahun, mendatangkan ribuan orang dan berbicara hak kemerdekaan, tidak ada satupun kekerasan. Itulah yang disebut respect.
3. Institutional Transformastion. Melakukan transformasi negara untuk mengakomodasi kepentingan mereka. Aceh dan Papua sendiri terjadi perpecahan di masyarakatnya. Masing-masing berselisih dalam merumuskan kemauan mereka. Gus Dur tidak ingin mencampuri, baru setelah jadi, diperjuangkan di DPR.
Misalnya penyusunan draf RUU Otonomi Khusus (Otsus) kedua wilayah tersebut menjadi bagian dari isi UU Otonomi Khusus yang hingga sekarang masih berlaku. UU Otsus tersebut adalah UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua1 dan UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Aceh yang kemudian diperbarui dengan  UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh sebagai tindak lanjut dari Kesepakatan  Damai Aceh di Helsinki.
Hal penting yang dihasilkan dari kebijakan Gus Dur adalah pertama, diterimanya hukum adat sebagai mekanisme pemecahan konflik. Kedua, penegakan HAM. Ketiga, Partai politik lokal.
“Tradisi papua yang sebelumnya informal, mereka diberi lembaga seperti MRP (Majlis
Bagi Gus Dur, semua orang boleh masuk, boleh berpendapat. Mereka diberikan berpendapat. Ditambah dengan partai Lokal,” jelas Suaedy.
Di Aceh, lanjutnya, ada yang disebut dengan MPU (Majlis Permusyawaratan Ulama). Di masa orba majlis majlis seperti ini menjadi alat menindas rakyat. Yang semula tertindas dikasih tempat.
Sayangnya ulama Aceh ditindas itu selama 60 tahun. Sehingga mereka tidak berkesempatan memperdalam ilmu. Mereka tidak punya kesempatan belajar. Jadi ilmunya tidak berkembang.
Zainul Milal Bizawie dan Ah. Ginanjar Sya’ban hadir sebagai pembanding. Gus Milal mengatakan bahwa Gus Dur berhasil membangun kepercayaan di masyarakat Aceh dan Papua. Kita adalah bangsa yang multikultural bangsa Indonesia.
Setelah langkah Gus Dur yang dihentikan, imbuhnya, Gus Dur melakukan refleksi diri, apakah ada yang salah. Sehingga memberi kesimpulan ada sejarah yang perlu dibangun kembali. Tidak heran jika setelah lengser, Gus Dur banyak bicara sejarah masa lalu, sejarah Nusantara.
“Kalau ingin melihat bagaimana Islam menyelesaikan konflik, bisa terbaca di buku ini,” tandasnya.
Sementara itu, Ginanjar Sya’ban melihat buku karya Suaedy ini sebagai “wajah” Gus Dur yang jarang dilihat. “Pak Suaedy menampilkan wajah Gus Dur yang jarang dilihat bahkan oleh orang NU sendiri. Bagaimana kita menyelesaikan sebuah konflik tanpa menimbulkan konflik baru,” katanya.(Damar Pamungkas)

#muslimsejati #zonamuslim #indonesia #nusantara #khilafah #bhinekatunggalika #intoleran #Islam #merahputih #islampedia #bangsa #negara