Terorisme Reinkarnasi Paham Khawarij
Akhir-akhir ini negeri kita kembali diserang sekelompok orang
radikal yang tidak memahami subtansi agama (Islam) secara utuh dan tersudut
dalam pikiran sempit dan terbatas . Kelompok radikal tersebut dinamai teroris
karena mengancam ketertiban, ketenteraman, dan kedamaian masyarakat. Orang
sehat akal pikirannya pasti geleng-geleng kepala dan mencari-cari jawaban apa
motif dibalik penyerangan serta pengeboman yang mereka lakukan.
Salah satu alasan populer para teroris sampai berani menyakiti
diri sendiri dan orang lain adalah surga dan bidadari yang konon akan langsung
menjemput mereka. Tak heran orang yang meledakkan bom bunuh diri disebut
“pengantin”.
Ada faktor lain selain surga dan bidadari alasan tidak begitu
populer dan diketahui banyak orang, yakni faktor pikiran. Cara berpikir para
teroris ini mewarisi paham Khawarij yang dengan enteng menuduh ‘Ali telah
kafir.
Pada mulanya kelompok Khawarij adalah tentara pendukung Ali,
namun kemudian keluar dari barisan karena mereka menganggap keputusan Ali pada
saat peristiwa tahkim, menerima arbitrase (perjanjian penyelesaian
sengketa) setelah berperang melawan Mu’awiyah, bertentangan dengan hukum Allah.
Mereka tidak menerima putusan Ali karena keputusannya dianggap tidak merujuk
Al-Qur’an sebagai sumber putusan.
Dengan dalih mantap surat Al-Maidah ayat 44 “Barangsiapa
yang tidak menentukan hukum dengan apa yang diturunkan Allah, adalah kafir”,
mereka berkesimpulan Ali menantu manusia paling mulia (Nabi Muhammad) telah
kafir dan keluar dari Islam.
Tentu pikiran ini bukan berasal dari hati bersih penuh keimanan
melainkan berasal dari hawa nafsu yang menginginkan kegaduhan. Mereka meyakini
Islam versi pemahaman mereka adalah suatu kemutlakan dan pasti benar, siapa
saja yang bertentangan dengan pemahaman mereka dianggap kafir dan melawan Islam
padahal tidak demikian.
Sungguhpun keputusan Ali dalam keadaan terpaksa dan demi
kemaslahatan bersama – meskipun kenyataannya tawaran arbitrase dari pihak
Mu’awiyah bagian dari kelicikan dan merugikan ‘Ali – kaum Khawarij tetap bersikukuh
apa yang dilakukan Ali salah karena tidak bersandar pada Al-Qur’an.
Kemudian pikiran sempit Khawarij diwarisi oleh sebagian umat
Muslim, tidak terkecuali umat Muslim Indonesia. Pemahaman Islam sebagai
ideologi dan agenda politik bukan sebagai agama yang universal yang menjunjung
kemanusiaan, kedamaian dan keadilan membuat pemikiran mereka terbatas karena
memang pada dasarnya tafsir ideologis dan politis sangat sempit sehingga tafsir
agama yang berlainan dengan tafsir versi mereka dengan mudah dituduh kafir.
Saat melihat realitas masyarakat Indonesia yang berbeda-beda,
pikiran sempit demikian sulit menerima. Semua yang berbeda dengan pemahaman dan
tafsir mereka dianggap sesat bahkan tradisi yang telah menjadi bagian integral
masyarakat Indonesia dianggap bid’ah.
Sebenarnya fenomena ini disebabkan kekurangpahaman membedakan
mana syariat dan mana kultur Arab. Tidak tanggung-tanggung, dasar negara
Indonesia Pancasila mereka vonis sebagai thagut dan berhala. Padahal pancasila
dirumuskan juga disetujui oleh para tokoh ulama Nusantara yang tidak diragukan
pemahamannya tentang Islam. Sebagai Muslim layaknya mereka memiliki rasa
tawadlu’ rendah hati, menghormati kesepakatan ulama terdahulu dan menaatinya.
Pada akhirnya, si pemilik warisan pikiran seperti ini ibarat
reinkarnasi Khawarij yang beringas, intoleran dan ingin “membasmi” segala
bentuk pemahaman selain dia. Segala cara ditempuh untuk memuaskan hawa nafsu
pribadi termasuk melakukan tindakan diluar nalar. Jalan pintas berupa kekerasan
dan pemaksaan sudah biasa dilakukan. Melahirkan wajah Islam agresif dan
pemikiran tidak terbuka. Mengubah wajah Islam Indonesia yang terkenal di dunia
internasional sebagai Islam with a smiling face. Berujung pada jurang tindakan
terorisme.
Kurangnya perhatian dan kesadaran masyarakat adalah bukti
kelihaian pergerakan harakah kelompok radikal. Al-Qur’an dan hadits secara
fasih terlontar dari lisan mereka tapi tidak dibarengi spritualitas, semangat
menebar kedamaian dan ketenteraman sebagaimana agama Islam dipahami oleh ulama Nusantara
para wali yang tidak mementingkan ambisi pribadi maupun kepentingan kelompok
demi kekuasaan.
Kita seharusnya berani jujur bahwa para teroris adalah saudara
Muslim yang perlu diluruskan. Mereka adalah bagian dari Islam tetapi memiliki
pemikiran yang ekstrem. Jangan cuci tangan dengan menuduh mereka tidak
beragama. Para teroris adalah tanggung jawab kita bersama sekaligus musuh yang
harus dilawan, memberi pemahaman yang mencerahkan kepada keluarga, kerabat,
serta teman terdekat merupakan bagian terpenting dan perlawanan terbaik untuk
mencegah pemikiran ekstrem tetap eksis dan tumbuh subur di tanah air kita
tercinta.
Penulis
adalah alumnus Pondok Pesantren Baitul Hikmah Haurkuning, Tasikmalaya,
mahasiswa Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir semester 2 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
#muslimsejati
Tidak ada komentar